Cerpen Pendek Mengenai Kehidupan dan Cinta – Adik di rumah dua hari ini ribut terus minta dibuatkan sebuah cerpen singkat, katanya untuk tugas di sekolah. Kenapa tidak mencari di internet saja, kan tidak sedikit sekali berbagai contoh cerita pendek yang bisa dipelajari? Malas, itulah penyakit anak sekarang, pasti rekan semua tidak begitu bukan? Kumpulan Cerpen Pendek Terbaru Berbagai Tema Ya, tenang saja, untuk rekan semua yang kesusahan mencari cerpen pendek yang hanya satu lembar alias.
dua lembar saja kalian bisa mencarinya disini. Untuk hiburan dan juga referensi belajar bakal dishare berbagai contoh dari berbagai tema. Untuk apa sih biasanya cerpen tersebut? Dalam pembelajaran bahasa Indonesia biasanya siswa sekolah bakal diajarkan mengenai , nah biasanya di akhir pertemuan siswa bakal dishare tugas untuk membaca cerpen pendek persahabatan mencari cerpen pendek dan juga mungkin melakukan analisa terhadap cerpen tersebut. Tidak sama-beda, tergantung kelasnya mungkin.
Cerpen Singkat
Penjual Koran
Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin. Alam pun masih diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalan yang masih lengang. Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjual Koran, yang bernama Ipiin.
Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di tempat agen koran dari berbagai penerbit. “Ambil berapa Ipiin?” tanya Bang Ipul. “Biasa saja.”jawab Ipiin. Bang Ipul mengambil sejumlah koran dan majalah yang biasa dibawa Ipiin untuk langganannya. Setelah beres, ia pun berangkat.
Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Begitulah pekerjaan Ipiin setiap harinya. Menyampaikan koran terhadap para pelanggannya. Semua itu dikerjakannya dengan gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.
Ketika Ipiin sedang mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah benda. Benda tersebut adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Ipiin jadi gemetaran. Benda apakah itu? Ia ragu-ragu dan merasa ketakutan karena akhir-akhir ini tidak jarang terjadi peledakan bom dimana-mana. Ipiin khawatir benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya, ia mencoba membuka bungkusan tersebut. Tampak di dalam bungkusan itu terdapat sebuah kardus.
“Wah, apa isinya ini?’’tanyanya dalam hati. Ipiin segera membuka bungkusan dengan hati-hati. Alangkah terkejutnya ia, karena di dalamnya terdapat kalung emas dan perhiasan lainnya. “Wah apa ini?”tanyanya dalam hati. “Milik siapa, ya?” Ipiin membolak-balik cincin dan kalung yang ada di dalam kardus. Ia makin terperanjat lagi karena ada kartu kredit di dalamnya. “Lho,…ini kan milik Pak Edison. Kasihan sekali Pak Edison , rupanya ia telah kecurian.”gumamnya dalam hati.
Apa yang diperkirakan Ipiin itu memamg benar. Rumah Pak Edison telah kemasukan maling tadi malam. Karena pencuri tersebut terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah dikumpulkannya terjatuh. Ipiin dengan segera memkabarhukan Pak Edison. Ia menceritakan apa yang terjadi dan ia temukan. Alangkah tersanjungnya Pak Edison karena perhiasan milik istrinya telah kembali. Ia sangat bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur.
Taman Kecilnya
Sejak kecil aku dibesarkan oleh kakek dan nenek. Kedua orangtua bercerai dan meninggalkan aku bersama kakek dan nenekku. Kedua orangtuaku itu saat ini telah memiliki keluarga baru masing-masing. Ibu menikah dengan seorang lelaki kaya dan memiliki dua orang anak dan hidup ibu sungguh tersanjung tanpa mengingatku lagi. Sedangkan Ayah, Ayah saat ini menikah dengan seorang janda yang juga kaya raya dan tinggal bersama ketiga anak tirinya dan sama seperti Ibu, Ayah tidak mengingatku lagi.
Kini aku bersekolah di salah satu sekolah menengah atas negeri di tempat aku tinggal. Alhamdulillah aku mendapatkan beasiswa berprestasi untuk sekolah di sana dan ada orang yang mau membiayai keperluan sekolahku seperti buku, baju, tas, sepatu, dan keperluan sekolah lainnya. Namun, itu hanya untuk biaya sekolah. Aku hidup dengan usahaku sendiri, aku menjual hasil kebun kakek ke pasar dan menjajakan kue hasil tangan nenek yang rasanya enak.
Tidak setiap hari aku menjual hasil kebun dan menjajakan kue. Kalau kebun kakek hanya bisa menghasilkan hasil kebun hanya dua kali selama tiga bulan. Sedangkan nenek, nenek tidak bisa setiap hari membuat kue karena bahan baku untuk membuat kuenya mahal.
“Kek, Nek, ini hasil jualannya,” kataku memsharenya terhadap nenek.
“Iya nak, sana pergi makan kalian pasti lapar,” kata nenek.
“Iya Nek, kalau gitu Beni makan dulu yah?” kataku sambil meninggalkan kakek dan nenek.
“Makan yang ketidak sedikitan yah?” sahut nenek dari depan.
“Iya nek,” jawabku.
Keesokan harinya aku seperti biasa ke sekolah dan Alhamdulillah tadi subuh nenek buat kue untuk aku jajakan di sekolah. Sesampai di sekolah seperti biasa juga, aku di olok-olok sama teman-temanku yang memang terlahir di keluarga yang kaya dan tersanjung.
“Hei, lihat si Beni sang penjual kue,” teriak Jihan sambil menunjuk ke arahku. Seketika semua orang di dekat Jihan dan tidak lebih lebih aku menertawaiku. Namun, Nabilah yang juga termasuk orang kaya sangat berbeda dengan mereka ia tidak menyukai kalau ada orang yang dihina kayak aku.
“Kalian kenapa sih? Emang kalian tidak kasihan apa, lihat Beni mencari uang untuk menyambung hidupunya!” bentak Nabilah.
“Kamu tuh yang kenapa, kenapa kalian bela dia Nabilah? Kalian naksir yah?” tanya Jihan spontan.
“Aku nggak naksir dia, aku cuma kasihan lihat dia yang setiap hari kalian tertawai, apa kalian tidak malu apa. Dia menjual kue untuk kakek dan neneknya. Sedangkan kalian dan juga aku hidup tersanjung dengan uang hasil jeri payah orang tua, beda dengan Beni,” jawab Nabilah.
Jihan dan teman-temannya hanya terdiam menunduk mendengar penjelasan Nabilah.
“Beni, ayo pergi tinggalin mereka,” ajak Nabilah.
“Iya Nab,” jawabku sambil mengikuti Nabilah dari belakang.
“Nanti kalau kalian di kasih gitu lagi, langsung tinggalin mereka jangan berdiri tegak di depan mereka,” katanya Nabilah dengan sisi yang lebih lembut.
“Gak apa Nab, aku udah hampir tiap hari kok di gituin,” jawabku
“Biasa sih biasa tapi jangan di biasain donk, emang kalian gak sakit hati apa di gituin?” tanya Nabilah berhenti di depan kelas.
“Kan kenyataan gitu, aku hanya seorang penjual kue beda dengan kalian,” jawabku singkat.
“Iya sih, tapi aku kasihan liat kalian di giniin,” kata Nabilah.
“Aku masuk dulu yah? Mau taruh tas dan membawa kue ini ke kantin,” kataku.
“Ok, aku juga boleh ikutkan ke kantin?” tanyanya.
“Iya boleh,” jawabku sambil berjalan menuju kursiku begitu juga Nabilah yang sekelas dengan aku.
Sepulang sekolah, aku langsung ke kantin dan mengambil hasil penjualan kue nenek terjual dengan upah Rp. 67.000 yang telah lumayan ketidak sedikitan di kehidupan aku, kakek, dan nenek. Di perjalanan pulang mobil putih berhenti di samping dan ternyata itu Nabilah.
“Ben, naik gih aku antarin kalian ke rumah, yah silahturahmi juga ama nenek dan kakek kamu,” kata Nabilah.
“Kagak usah Nab, biar aku jalan saja nanti mobil kalian kotor karena sepatuku yang penuh kotoran,” jawabku menolak.
“Kan ada jasa cuci mobil jadi kagak usah takut kotor,” sambil turun dari mobilnya lalu menarikku masuk ke mobil.
“Kagak usah Nab, aku jalan aja,” kataku menolak.
“Kalau kalian gak mau pulang bareng aku, aku ngambek!” kata Nabilah.
“Baiklah aku terima tawaranmu,” jawabku.
Tidak lebih lebih lima belas menit perjalanan akhirnya kami sampai di tidak lebih lebih tempat tinggal aku yang kumuh.
“Rumah kalian di mana Ben, kok gak ketemu-ketemu?” tanya Nabilah.
“Turun di sini aja Nab, rumah aku di gang kecil itu,” jawabku sambil turun dari mobil.
“Yakin di sini aja? Kan masih jauh, perlu aku anterin?” pinta Nabilah.
“Emang mau ikut? Nanti sepatu kalian kotor lagi, kagak usah deh,” jawabku.
Nabilah langsung turun dari mobilnya dan memberi tahu sopirnya agar menunggu sebentar. Ku perhatikan Nabilah tidak ada rasa jijik berjalan di gangku yang sempit dan bau ini. Dia hanya tersenyum ke arahku dan sesekali berteriak karena ada kecoak yang lewat di dekatnya. Sesampai di depan rumah, Nabilah terdiam.
“Kamu kenapa Nab?” tanyaku.
“Gak kok, ayo masuk!” ajaknya.
Kami pun masuk dan di sambut oleh kakek dan nenekku.
“Dia siapa Beni?” tanya kakek.
“Namanya Nabilah kek, dia teman sekolah aku,” jawabku
“Kenalin Kek, Nek, aku Nabilah,” sahut Nabilah memperkenalkan diri.
Tak lama kemudian Nabilah berpamitan pulang karena sopirnya telah datang menjemput Nabilah.
Aku sangat bersyukur bisa memiliki teman seperti Nabilah. Bisa mengerti keadaan yang aku alami, dia seperti taman kecil yang tidak memilih-milih teman. Aku sebagai bunga liar diizin untuk hidup di taman kecilnya. Rasanya hidup begitu mudah untuk ku lalui.
Mungkin susah mencari orang seperti Nabilah untuk kedua kalinya, maka dari itu aku takkan pernah mengecawakannya.
“Upz, maaf yah udah ngejatuhi kue mu?” kata Farel dengan muka sombongnya.
“Iya gak apa-apa,” jawabku.
“Kamu mau, aku ganti berapa kuenya, ini ada sedikit uang,” mengeluarkan uang puluhan ribu yang diberi oleh orang tuanya.
“Kamu sebaiknya menabung uang itu, aku masih bisa cari uang sendiri,” jawabku.
“Oh, sombong yah?” katanya sambil mendorong pundakku.
“Aku tidak sombong, aku nyadar diri kok,” kataku meninggalkan Farel.
Sesampai di kantin aku langsung menitipkan kue nenek lalu ku berjalan ke kelas. Perjalanan ke kelas aku berpapasan dengan Nabilah jadi kami berjalan bersama menuju kelas.
Tadi bukannya masalah telah beres tapi Farel memperkeruh masalah dengan menaruh paku di tempat aku duduk, “Sial,” tapi aku tidak membalas itu dengan ketidak lebih baikan tapi aku membalasnya dengan mendapatkan nilai ulangan yang lumayan baik, sedangkan dia di bawah rata-rata. Mungkin Farel merasa malu sendiri.
Keesokan harinya, semua begitu berubah. Entah apa yang sedang terjadi atau ini sebuah mukhjizat-Nya. Semua teman yang menghinaku, saat ini balik member pujian untuk diriku. Entah ada apa aku masih tidak mengerti dengan apa yang di atur oleh-Nya.
“Hei Ben,” sapa Farel.
“Hai,” sapaku balik.
Aku terus berjalan, senyuman demi senyuman pun terbentuk dari lekukang bibir siswa di sekolah. Aku tambah penasaran apa yang sebetulnya terjadi.
“Hai Beni, selamat yah?” kata Nabilah.
“Untuk apa?” tanyaku keheranan.
“Ah, jangan pura-pura gak tau,” ledek Nabilah.
“Kamu berhasil mempermalukan Farel yang super duber sombong itu,” katanya.
“Dengan sebuah Nilai Nab?” tanyaku.
“Iya, hanya sebuah nilai, itu bukti kalau orang yang baik bakal mendapatkan kebaikan,” jawabnya.
“Tapi?” tanyaku lagi.
“Udah baikan? Masih sakit?” tanyanya.
“Alhamdulillah, udah enggak,” jawabku.
Kini semua rata, semua adalah taman kecilku, mereka yang menerima aku apa adanya. Dengan kenyataan hidup yang pahit, aku mampu membuatnya manis karena bergaul dengan mereka yang tidak lagi menghina dan mencelahku.
Sebagai ucapan terima kasihnya, Pak Edison memberbagi modal terhadap Ipiin untuk membuka kios di rumahnya. Saat ini Ipiin tidak lagi wajib mengayuh sepedanya untuk menjajakan koran. Ia lumayan menunggu pembeli datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk mengirim koran dan majalah terhadap pelanggannya, Ipiin digantikan oleh saudaranya yang kebetulan belum memiliki pekerjaan. Itulah akhir dari sebuah kejujuran yang bakal mendatangkan ketersanjungan di kehidupan kelak.
Cerpen Pendek – Semoga saja, dengan tidak sedikitnya referensi dan bahan contoh yang dibahas disini kalian bisa lebih mudah lagi belajar. Kalau semua bahannya telah ada disini saat ini tugas kalian adalah rajin belajar, benar tidak? Iya dong, giat berlatih, agar pandai, mendapatkan nilai yang bagus, berbudi pekerti luhur dan berhasil menjadi manusia bertujuan bagi bangsa dan negara. Itu saja pembahasan mengenai Cerpen Pendek Terbaru Berbagai Tema hari ini, silahkan dibaca contohnya di atas